Selasa, 29 November 2011

IS IT ABOUT THE TIME?

Jarum jam hampir mendekati angka 4. Temanku nampak sudah siap berdiri di depan komputer penghitung waktu. Saatnya hampir tiba. Jam 3.57 pm temanku akan menggesekkan kartu pegawainya dan memilih menu "clock out" untuk mengakhiri jam kerjanya hari ini.

"Is it about the time?" aku bertanya padanya.
"2 minutes left" jawabnya.
"It's not bad" jawabku.
"Yeah" jawabnya.

Percakapan ini seringkali kami lakukan. Utamanya di hari Senin sampai Kamis, karena dia tidak bekerja di hari Jum'at. Percakapan yang sebenarnya sama dan terkesan sebagai basa-basi. Namun aku tidak menganggapnya demikian. Kenapa begitu? Karena dari percakapan yang nyaris sama di setiap sorenya, aku merasa lama-lama kami bisa berbagi banyak cerita. 

Cerita yang barangkali juga gak penting-penting amat, seperti apa rencana sepulang kantor, siapa yang memasak makan malam, kapan jadwal pertandingan football berikutnya, bagaimana kabar orangtua, bagaimana ramalan cuaca malam ini dan aneka topik obrolan ringan. Ya ... Selama 2 atau 3 menit sebelum temanku pulang, kami bisa mengobrolkan apa saja.

Kalimat "Is it about the time?" pun menjadi bagian dari cerita dan pengalamanku sehari-hari. Sambil menunggu temanku presensi sebelum pulang, kami gunakan waktu yang ada untuk ngobrol. Dari sini, aku banyak belajar hal baru. Ya ... Hanya dengan memanfaatkan waktu kurang dari 5 menit, aku memperoleh tambahan pengetahuan ....

HOW MUCH DO YOU LOVE ME?

"Tell me, how much do you love me?" tanya temanku pada ibunya lewat telpon.
Nampaknya ibunya memberikan jawaban yang menyenangkan hati temanku. Kulihat temanku tersenyum.
"Then, can you drive her home?" lanjut temanku pada ibunya.
Sesudahnya percakapan via telpon itu selesai.

Hampir setiap hari temanku menelpon ibunya. Bisa tiga sampai empat kali sehari. Kata temanku, selain untuk memastikan ibunya baik-baik saja, kadang-kadang temanku memerlukan pertolongan ibunya untuk mengantar jemput anaknya sekolah. Maklum, temanku musti berangkat pagi-pagi dari rumah dan sampai di rumah kembali selepas jam 5 sore. Otomatis, kegiatan antar jemput anaknya pun diserahkan pada ibunya.

Ibu temanku berusia 70-an tahun. Ini kudengar dari ceritanya saja. Secara pribadi aku belum pernah bertemu beliau, hanya pernah melihatnya melalui foto keluarga yang dibawa temanku ke kantor. Aku tahu temanku ini sangat memerlukan ibunya, terlebih di saat dirinya sibuk bekerja seperti saat ini. Dia pernah bilang, tanpa pertolongan ibunya, dia yakin akan sangat repot, sulit dan mahal baginya untuk mencarikan siapa yang bisa mengantar jemput anaknya. Karenya, kehadiran ibunya sangatlah berarti baginya.

Kalimat "How much do you love me?" yang kemudian diikuti permintaan untuk melakukan sesuatu (demi membuktikan besarnya cinta) rasanya agak janggal di telingaku. Ya ... Baru kali ini aku mendengar pertanyaan yang diikuti permintaan seperti ini. Barangkali hal ini merupakan sesuatu yang wajar diucapkan oleh masyarakat asli sini. Namun, menjadi sesuatu yang menarik bagiku saat aku mendengarnya langsung hari ini.

Pandangan mengenai cinta yang perlu dibuktikan memang bukan sesuatu yang mudah untuk dibenarkan atau disalahkan. Semua memiliki argumen masing-masing terhadap cara pandang yang seperti ini. Diskusi mengenai hal ini pun barangkali akan menarik, karena setiap alasan yang dikemukakan bisa jadi ada benarnya dan logis.

Yang paling penting bagiku, cinta tidak untuk dimanipulasi. Atau juga, cinta tidak bisa dipaksa untuk diwujudkan. Kenapa? Entahlah ... Jawabannya berpulang pada diri kita masing-masing ...

Kamis, 24 November 2011

DON'T GIVE HER CASH ...

"Did you do the (DNA) test?" tanya temanku pada salah satu staf cleaning.
"I did. I am waiting for the result this Friday" jawab si staf.
"Does you meet him regularly?" tanyaku pada si staf.
"No ... His mom doesn't allow me to see him" jawab si staf lagi.

Pembicaraan siang ini adalah mengenai anak laki-laki staf cleaning yang tinggal bersama ibunya. Kata staf cleaning tadi, pada suatu hari, ibu anak ini datang padanya dan mengatakan bahwa dia ayah biologis si anak. Saat mendengar kalimat ini, staf cleaning percaya begitu saja. Sekalipun staf cleaning dan ibu anak tadi tidak tinggal bersama, si staf cleaning berusaha memenuhi kebutuhan anak tersebut.

Sampai pada suatu saat, staf cleaning ini merasa ada sesuatu yang disembunyikan ibu anak ini. Dia merasa ragu apakah anak tersebut benar anaknya. Maka, staf cleaning tadi kemudian meminta si anak diteskan DNA-nya untuk dicocokkan dengan hasil tes DNA si staf.

Kata si staf " His mom called me several times asking for money and his need."
Lanjutnya "I gave her cash and also brought some stuffs for the kid."
Kata temanku "Don't you think about not giving her cash? You can give her a check."
Kata si staf "I didn't think about it before. Once I gave her 100 box and I gave her some more other times."
Kata temanku "Didn't you think about keeping the evidence? At least you have something to keep as evidence if you give her a check other than money. You can show her your responsibility when she needs it sometime in the future."
Si staf menjawab "Yeah ... That would be a good idea."

Saran temanku pada si staf cleaning untuk menunjukkan tanggung jawab secara financial pada ibu anak itu memang masuk akal. Setidaknya, akan ada bukti yang bisa ditunjukkan pada ibu anak itu saat diperlukan. 

Kupandang wajah si staf dari tempat dudukku. Nampak si staf sedikit murung. Aku pun ikut prihatin mendengar kisahnya. Sebuah kisah hidup yang tidak terlalu menyenangkan untuk diceritakan. Sebuah kisah hidup yang tidak seorangpun menginginkannya. 

Saat kudengar staf cleaning itu mengatakan "I'd be very depressed if the result (of the DNA test) shows he is not my son," aku tidak tahu apa lagi yang musti kukatakan. Jum'at minggu ini, hidupnya mungkin akan berubah setelah hasil tes keluar. Mungkin dia akan tetap bertanggungjwab untuk memenuhi kebutuhan anak itu, mungkin juga tidak. Kalau dia harus terus bertanggungjwab, mungkin dia akan melaksanakan apa yang dikatakan temanku "Don't give her cash" agar ada bukti yang bisa ditunjukkannnya saat diperlukan suatu hari nanti ...  

Sebuah pelajaran yang barangkali tidak lazim terjadi di tempat dimana aku dibesarkan ... Ketika orang tua tidak tinggal bersama anak, bentuk tanggung jawab keuangan mungkin tidak  sebaiknya dibeikan dalam bentuk tunai, melainkan berupa cek atau bukti transfer agar ketika diperlukan bukti tanggung jawab, ada sesuatu yang bisa ditunjukkan ...

I AM HAPPY I MADE A MISTAKE ...

Kalimat ini kudengar dari temanku saat kami sedang asyik menata berkas. Ketika itu suasana lumayan sepi, sehingga kami tidak perlu terlalu terburu-buru dalam menyelesaikan penataan berkas ini. 

"I am happy I made a mistake" kata temanku saat dia keliru mengambil berkas dan aku mengkoreksinya.
"Yeah ... You learn from your mistake. I promise you won't make the same mistake in the future" begitu jawabku.

Kalimat "I am happy I made a mistake" sungguh gak biasa kudengar. Baru kali ini aku mendengar seseorang mengungkapkan hal ini. Kalimat ini rupanya merupakan salah satu kalimat yang umum diucapkan untuk pemula yang sedang mempelajari sesuatu yang baru.

Selama ini, banyak yang menganggap melakukan suatu kekeliruan bukanlah sebagai sesuatu yang menyenangkan hati. Umumnya saat kita melakukan kekeliruan, kita akan merasa kurang nyaman. Namun hari ini perspektifku tentang melakukan suatu kekeliruan berubah. Saat aku mendengar kalimat ini, aku tahu melakukan sebuah kekeliruan tidak selalu memiliki makna tidak menyenangkan. Justru, melakukan kesalahan merupakan sebuah pengalaman yang menggembirakan. Kenapa begitu? Karena dengan melakukan kekeliruan, kita kemudian akan belajar sesuatu yang baru dan benar. 

Bagiku, kalimat ini kemudian terasa sebagai kalimat yang menguatkan hati seseorang untuk tidak perlu takut ketika melakukan kekeliruan. Ketika kita melakukan kekeliruan dan merasa tidak nyaman, kita perlu ingat kalimat "I am happy I made a mistake" ini. Kalimat ini akan memberikan energi bagi kita untuk memahami bahwa kekeliruan bisa jadi merupakan bagian dari sebuah proses pembelajaran.


Rasanya memang kontradiktif saat kita mendengar kalimat ini. Tetapi, kalau kita rasakan makna yang terkandung dalam kalimat ini terasa seperti energi positif. Dengan mendengar atau mengucapkan kalimat ini, mereka yang sedang memulai proses belajarnya tidak perlu takut saat melakukan kekeliruan. Pandanglah kekeliruan sebagai salah satu bagian dari proses pembelajaran ....

Rabu, 23 November 2011

HE WAS CHEATING ...

Kudengar obrolan antara 2 orang temanku di kantor selepas istirahat siang hari ini.
"Why did they break up?" tanya temanku.
"She thought he cheated on her" jawab temanku satunya.
"What did he do?" tanya temanku lagi.
"He got a text from a girl and he replied it. She thought he was cheating" jawab temanku yang ditanya.

Sebuah percakapan mengenai anak gadis temanku yang sedang patah hati. Kata temanku, anak gadisnya benar-benar sedih karena patah hati. Dia menganggap pacarnya tidak setia. Karenanya, dia memutuskan pacarnya.

"How long they've been together?" tanya temanku lagi.
"One year" jawab temanku yang punya anak gadis.
"Hm ..." kata temanku lagi.

Nampak temanku yang menanyakan masalah ini ikut merasa prihatin. Aku juga merasakan hal yang sama. Aku bayangkan temanku - ibu anak gadis ini - akan sangat berhati-hati saat berbicara dengan anaknya. Maklum, anak gadisnya sedang dalam suasana sensitif. Suasana hati yang sangat peka dan mudah tersinggung. 

Anak gadis temanku berusia 17 tahun. Menurut temanku, anak gadisnya ini lebih peduli pada kondisinya hari ini daripada memikirkan masa depannya. Sekali dia pernah memenangkan kontes Home Coming Queen. Dalam event pemilihan putri di wilayah kami, dia memenangkan Miss Evening Gown. Ya ... Anak ini memang menarik secara fisik. Dalam bayanganku, anak ini memiliki rasa percaya diri yang tinggi karena penampilan fisiknya yang sangat menarik.

Namun, kedewasaan dirinya rupanya belum tercapai. Temanku mengatakan, anak ini masih belum mandiri. Masih banyak hal - yang bersifat sederhana dan mendasar - yang belum bisa diputuskannya. Emosinya pun masih belum stabil. Masih sering keputusannya diambil berdasarkan emosi semata. Termasuk ketika sekali itu dia menemukan pacarnya membalas text yang dikirim oleh anak perempuan lain. Dia pun kemudian memutuskan menyudahi hubungan spesial mereka. Apakah anak gadis itu sedang menunjukkan ketegasan sikapnya - bahwa dia tidak mau disepelekan? Ataukah anak ini sebenarnya belum dewasa, karena dia terlalu mencurigai pacarnya yang dianggapnya tidak setia?  

He was cheating ... Ya ... Itulah anggapan anak gadis temanku, saat dia tahu pacarnya membalas pesan singkat yang datang dari seorang gadis ... 

IT DROVE ME NUT ...

Kudengar kalimat ini datang dari temanku pagi ini. Awalnya aku kurang tahu apa yang dimaksudnya, namun kemudian aku mengerti duduk persoalannya. Masalahnya adalah pembayaran pajak. Akhir minggu ini dia harus membayar pajak untuk property yang dimilikinya. Jumlahnya sekitar 1200 dolar.

Pagi ini, saat dia menghubungi kantor pajak untuk mengurus pembayaran tagihannya, dia diminta menunggu untuk dihubungkan dengan staf yang berwenang. Kurang lebih 13 menit dia menunggu, tidak ada hasil yang diperolehnya.

"It drove me nut" katanya padaku.
"Can you believe it's been 13 minutes and I still had to wait to speak with one of them?" lanjutnya.
"I hang the phone" katanya lagi.

Aku mengerti maksudnya. Sangat jarang ditemui pelayanan publik di negara ini tidak memenuhi standardnya. Temanku merasa pagi ini pelayanan yang dia terima sangat tidak menyenangkan. Dan hal ini membuatnya kesal. Karenanya, dia putuskan telepon setelah dia kesal menunggu selama kurang lebih 13 menit.

Sesaat kemudian dia mencoba menghubungi kantor ini kembali. Saat dia berbicara dengan staf yang sama, dia mengeluhkan kenapa dia harus menunggu selama ini. Nampaknya temanku kemudian mendapatkan penjelasan atas apa yang terjadi. Kemudian temanku disambungkan dengan staf yang dimaksud dan dia menyampaikan apa yang menjadi concern-nya. Pada akhirnya semuanya jelas. Temanku pun merasa semua pertanyaannya terjawab. 

Sebuah pelajaran baru untukku hari ini ... Jangan takut untuk menyampaikan permasalahan dan keluhan atas pelayanan yang kurang baik yang kita terima ... Utamanya, ketika kita berhadapan dengan "public service staf" ...

I MISS HER ...

"How's your baby?" tanyaku pada temanku pagi itu.
"She's fine" jawabnya ...
"She changed since she moved out" lanjut temanku.
"I miss her a lot ..." katanya lagi.

Yang kumaksud baby adalah anak perempuan temanku yang sedang menginjak masa remaja. Temanku pernah bercerita padaku anak perempuannya ini hidup dengan ayahnya. Dia memilih hidup dengan ayahnya karena dia merasa lebih leluasa mengatur hidupnya. Anak ini merasa lebih bebas dengan hidup bersama ayahnya.

Temanku hanya bertemu dengan buah hatinya beberapa kali dalam sebulan. Kadang-kadang, saat temanku merindukannya dan mencoba menelponnya, anak ini tidak mengangkat telpon tersebut. Temanku sering merasa sedih karenanya. Ketika dia berbagi cerita denganku mengenai hal ini, aku prihatin dan bersimpati padanya. Sungguh sebuah situasi yang tidak menyenangkan. 

Kerinduan yang dipendam temanku untuk sekedar berbicara dengan buah hatinya lama-lama menjadi bagian dari kesehariannya. Saat kerinduan itu datang dan dicobanya menghubungi buah hati, dia tahu, hasilnya tidak selalu menggembirakan. Tetapi dia tidak pernah menyerah. Texting atau SMS dikirimnya untuk buah hatinya ini. Sekalipun tidak ada balasan, setidaknya rasa rindunya sudah disampaikannya.

"I miss her ... " sungguh sebuah kalimat yang sarat makna. Apalagi saat kalimat ini muncul dari orangtua yang sungguh mengasihi anaknya. Harapanku simpel saja, semoga anak ini mengerti apa yang dirasakan orang tuanya dan mau menjawab telpon yang datang dari seseorang yang sungguh mengasihinya ...

Senin, 21 November 2011

ARE YOU HAPPY?

"Are you happy?" tanya temanku pada salah satu staf maintenance pagi ini.
"Yes, I am. I am very happy" jawabnya ...

Pertanyaan dan jawaban ini sangat sering kudengar. Setiap kali si staf maintenance mampir, setiap kali itu pula temanku akan menanyakan pertanyaan ini. Pertanyaan yang sama dan jawaban yang diberikan pun hampir selalu sama. Kadang dalam satu hari, pertanyaan ini diulang lebih dari sekali. Dan selalu pula, jawaban yang diberikan sama.

Sebuah pertanyaan yang nampaknya hanya merupakan basa-basi antara teman sekerja. Sebuah pertanyaan yang rasanya menjadi biasa saja karena selalu dilontarkan pada orang yang sama. Tetapi, benarkah pertanyaan ini tidak ada maknanya sama sekali?

Bagiku, pertanyaan ini memiliki makna yang sangat dalam. "Are you happy?" sesungguhnya bukan sekedar pertanyaan basa-basi. Saat temanku menanyakan hal ini pada si staf tersebut, sesungguhnya ada perhatian yang ditujukan pada si staf maintenance. Penting bagi si staf maintenance untuk menyadari perhatian temanku. Temanku peduli apakah si staf merasa berbahagia hari ini atau tidak. Menurutku, dengan bertanya, sebenarnya temanku ingin si staf merasa berbahagia hari ini. Kenapa bisa begitu? Dengan menjawab "I am very happy today" secara psikologis jawaban atas pertanyaan ini akan mempengaruhi perasaan si staf hari ini. Saat si staf menjawab "I am happy" aku yakin pikiran dan perasaannya akan bersinergi untuk mewujudkan kebahagiaan di hari itu. Jawabannya yang spontan, akan terbawa dalam pikiran, tindakan dan perasaannya.

"Are you happy?" nampaknya bukan lagi merupakan sebuah pertanyaan sederhana. "Are you happy?" adalah sebuah pertanyaan  yang memicu seseorang memiliki perasaan dan suasana positif, sebuah pertanyaan yang mendorong seseorang menjalani hari itu dengan bahagia. Kalau hari dijalani dengan perasaan bahagia, terbayang kan betapa positifnya energi yang akan dikeluarkan saat berkarya? Hasil karya pun menjadi optimal ...

"Are you happy?" nampaknya pertanyaan ini juga berlaku untukku dalam menjalani hari-hariku ...

Rabu, 16 November 2011

IT STRESSED ME OUT ...

"It stressed me out" kata salah satu staf di pagi mendung ini.
"Which one?" tanya seorang staf lainnya.
"Everything" jawab si staf tadi.

It stressed me out. Sebuah kalimat yang sangat umum diucapkan di sini. Tidak selalu harus berhubungan dengan pekerjaan. Semua hal yang dirasa menjadi beban atau tidak menyenangkan, umumnya dianggap sebagai penyebab stress/tertekan.

"You know I stress everyday" lanjut staf yang mengatakan It stress me out.
"Yeah ... We are worry about everything ... We are worry that we can't afford anything ... That's why we stress ..." jawab staf satunya.

Dari percakapan tersebut, satu staf menganalisa penyebab stress. Ternyata penyebab stres adalah kecemasan atau ketakutan (berlebihan) akan sesuatu. Terutama, takut atau cemas yang diakibatkan ketidakmampuan mengatasi suatu masalah. Percakapan kemudian menjadi semakin intens tentang apa yang terjadi dan apa yang dirasakan. Ujung-ujungnya adalah bagaimana mencari jalan keluar dari persoalan tersebut.

Hmmmm ... Sebuah percakapan yang menarik. Percakapan tentang kecemasan dan ketakutan yang wajar dialami seseorang. Percakapan yang kemudian menjadi sharring singkat akan apa yang sedang dialami dan dirasakan. Ya ... Dua staf tadi kemudian saling curhat ...

Sebuah cara sharring yang unik ... Diawali dengan kalimat "It stressed me out" perasaan cemas dan takut pun kemudian terurai dan stress pun berkurang atau menghilang ...

Selasa, 15 November 2011

I TRY TO BE SUPERWOMAN ...

"I try to be superwoman," kata salah satu staf pada temanku.
"Yeah ... We work too hard for everything," jawab temanku.
"But still, we are left behind for so many stuffs," jawab staf itu lagi.
"You can ask for a new helper," saran temanku.
"That's what I heard when I moved here. I haven't got one, though," jawabnya.

Sebuah percakapan tentang load pekerjaan di hari Selasa. Lagu yang sama sebenarnya. Di saat pekerjaan sedang banyak dan perlu bantuan sesorang, pekerjaan yang dikerjakan seorang diri menjadi terlalu banyak. Karenanya, staf ini kemudian curhat pada temanku.

Ungkapan "I try to be superwoman" sungguh menarik hatiku. Rasanya aku hanya pernah mendengar kalimat seperti ini dalam film. Kenyataannya hari ini aku mendengar kalimat ini terucap dari salah satu staf. Sebuah kalimat yang rupanya bisa diucapkan siapa saja. Sebuah kalimat yang menyiratkan harapan bahwa si staf akan mampu melakukan dan menyelesaikan banyak hal sendirian. Sebuah kalimat yang memiliki nada positif. Sebuah kalimat yang mengandung harapan akan energi lebih yang dimiliki untuk menyelesaikan banyak hal.

I try to be superwoman ... Sungguh sebuah kalimat yang membuatku bersemangat ... 

I WILL TRY ...

Jawaban ini kudengar dari salah satu pasien (penghuni apartmen) yang sedang menjalani cancer treatment di rumah sakit terbesar di kota ini. Pasien ini menghuni salah satu ruang khusus untuk pasien yang disediakan oleh apartmen ini. Dari daftar yang kami terima, pasien ini akan tinggal di sini selama 2 bulan atau 8 minggu. Setahuku, treatment biasanya dilakukan seminggu sekali dan paket treatment untuk masing-masing pasien tidaklah sama. Ada yang perlu treatment sebulan atau 4 kali, ada juga yang memerlukan treatment lebih dari itu.

Saat dia datang ke kantor hari itu, dia mengambil paket yang dialamatkan padanya. Saat temanku bertanya "How are you?" dia menjawab "Not too bad." Sesudah menerima paketnya, temanku mengatakan padanya "Have a good day." Dia menjawab "I'll try ..." sambil tersenyum.

Nampak kelelahan di wajahnya. Pipinya yang berwarna kemerahan akibat radiasi yang dijalaninya membuatnya tidak nampak sehat. Dengan berbalutkan jaket coklat sambil menenteng backpacknya, dia keluar dari kantor kami.

Kalimat "I'll try" yang diucapkan pasien ini membuatku merenung. Barangkali treatment yang dijalaninya melelahkan. Tidak hanya secara fisik, melainkan juga secara mental dan ekonomi. Siapa yang tidak cemas dan takut saat dirinya divonis mengidap penyakit separah ini? Sudah pasti segala cara akan diupayakannya untuk menyembuhkan penyakitnya. 

Karenanya, makna kalimat "I'll try" mungkin tidak hanya berlaku untuk hari itu saja ... Kalimat ini barangkali bermakna: AKU AKAN MENCOBA setiap kesempatan yang memungkinkanku menjadi lebih sehat dari hari ke hari ... 

Senin, 14 November 2011

DID YOUR MOM AND DAD STILL DANCE?

"Did your mom and dad still dance?" tanya temanku pada salah seorang staf hourly yang kebetulan mampir ke kantor.
"Yeah ..." begitu jawaban yang kudengar dari staff tadi.
"O ... So sweet ..." temanku berkomentar.

Aku sungguh surprise mendengar pertanyaan ini. Sebuah pertanyaan yang sangat menarik hati. Kenapa begitu? Karena usia orangtua staf hourly tadi sudah tidak muda lagi. Aku tahu usia mereka (orangtua si staf) tidak muda lagi, saat temanku dan si staf mendiskusikannya.

Sebuah kebiasaan yang unik dan romantis. Ya ... di negara ini aku belajar banyak hal. Bukan hanya bahasa melainkan adat dan budaya yang melekat dan menjadi ciri khasnya. Termasuk kebiasaan "dance" atau menari dengan iringan sebuah lagu. Aku pun kemudian membayangkan sebuah adegan dalam film: sepasang suami istri berusia lanjut yang sedang berdansa sambil saling berpegangan tangan dan saling bertatapan ... Betapa romantisnya ...

Namun sayang ... Romantisme orangtua staf tidak menurun pada si staf tadi. Staf tadi berpisah dari pasangannya dan dia hidup sendiri. Anak semata wayangnya diasuh pasangannya ... Hari-hari staf tadi diisi dengan sibuk bekerja. Di saat weekend, seringkali dia ke rumah orangtuanya untuk berkumpul dan makan malam bersama ... Di saat makan malam inilah staf tadi menyaksikan kerukunan dan keharmonisan orangtuanya, termasuk saat mereka berdansa ...

Bagiku ini sebuah ironi ... Keharmonisan, keromantisan dan kerukunan orangtua, ternyata tidak menurun pada si anak ...

O ... MY BACK ...

"O ... My back ..." 
Ucapan ini bisa kudengar berkali-kali dalam sehari. Seorang teman yang memang sedang mengalami sakit di bagian punggung selalu saja mengucapkan kata-kata ini saat dia membungkukkan badannya - entah saat menyedot debu atau memindah kertas atau menuang sampah dalam plastik atau pun saat mengerjakan tugas lainnya. 
Spontan aku akan bertanya "Are you OK?" or "Do you need help?"
Jawab temanku "No, thanks" atau "I'm fine."

Pernah suatu kali aku bertanya "Did you visit your doctor?"
Dia menjawab "Yeah ... But it still hurts."
Kulanjutkan dengan pertanyaan ini "Did you need to take medicine for that?"
Dia menjawab "Yeah ..."
Jawaban singkat yang menyiratkan semuanya sudah dilakukan, tetapi sakitnya belum kunjung sembuh.

Temanku yang satu ini sangat istimewa. Dia sangat pendiam. Jarang sekali aku melihatnya ngobrol panjang lebar dengan teman lain. Dia lebih senang membuat dirinya sibuk dengan banyak kegiatan. Hampir gak pernah aku mendengarnya mengeluh capai karena bekerja. Baginya, dengan "keep busy" waktu akan cepat berlalu dan hari pun menjadi tidak membosankan. 

Melihatnya bersemangat bekerja seperti itu, membuat manajer kantorku memfavoritkannya sebagai staf yang selalu dirujuk saat dia perlu memotivasi staf kantor lainnya. Semua staf kantor memang tahu dan menyetujui bahwa temanku yang satu ini memang rajin dan hampir gak pernah terlihat santai. Pun mereka semua tahu bahwa saat ini punggungnya mengalami masalah.

Bagiku, ini adalah sebuah contoh sikap positif yang sangat nyata. Sakit yang dirasakan atau ditanggung temanku tidak menjadi alasan baginya untuk bermalas-malasan. Dia tetap bekerja seperti biasa meskipun anggota tubuhnya gak 100% sehat. Dia juga gak meminta diistimewakan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sekalipun dia memiliki hak untuk mendapatkan "helper" karena kondisinya.

Aku salut dan memberikan penghargaan yang tinggi pada temanku yang satu ini - yang tetap beraktifitas seperti biasa sekalipun tidak sedang dalam kondisi terbaiknya .... 

Kamis, 10 November 2011

I CAN'T LIVE WITHOUT CHOCOLATE ...

Ungkapan yang biasa kudengar dari temanku yang bekerja di Maintenance Department sebenarnya bukanlah "I can't live without chocolate". Setiap kali mampir kantor, dia selalu bertanya "What are you doing?" yang selalu kami (aku dan temanku) jawab dengan kompak "Nothing" ketika kantor sepi. Lalu saat temanku balik bertanya "What are you doing" dia akan memberikan jawaban yang sama "Nothing."

Namun, hari ini dia datang dengan kalimat ini "I can't live without chocolate .." Coklat yang dimaksud adalah permen coklat, coklat batang (chocolate bar) dan semua jenis coklat yang dikenalnya ... Termasuk coklat yang dinikmatinya sebagai makanan penutup (dessert) yang akan atau sudah disantapnya ...

Bagiku, kecintaannya pada coklat sangat wajar. Terlahir dan beranjak dewasa di negara yang memang menjadikan coklat sebagai makanan dan minuman sehari-hari (entah berupa minuman, roti untuk sarapan, permen, snack, makanan penutup dan sejenisnya), sudah pasti hidupnya gak bisa jauh dari coklat ini. Sudah menjadi kebiasaan bagi temanku tadi untuk selalu menyertakan coklat dalam aktifitasnya sehari-hari. Karenanya, dia mengatakan dia gak bisa hidup tanpa coklat ...

Agaknya, kebiasaan sejak kecil membentuk sifat dan kecintaan seseorang pada sesuatu. Kebiasaan yang (mungkin) tanpa disadari terbentuk karena rutin dilakukan. Kebiasaan yang dilakukan kemudian menyatu pada pribadi seseorang dan menjadikannya sebagai sosok yang unik. Termasuk kebiasaan temanku yang gak bisa memisahkan dirinya dari coklat ...

Sebuah gagasan yang sederhana, kebiasaan membentuk pribadi seseorang ... 

I NEED MORE COFFEE ...

Saat sedang mengantri untuk presensi pagi ini, kudengar percakapan diantara teman sejawatku ...
"I need more coffee this morning ..."
"You could come to my house and get more coffee there," aku menjawab.
"Did you drink coffee? I didn't know that," kata temanku yang lain.
"You drink water all the time," lanjut temanku tadi.
Aku menjawab,"My husband does drink coffee. Not me."
Aku melanjutkan, "Once I drink coffee, I would stay wake up all day."
Kata teman yang mengatakan kopinya kurang "Yeah ... Because there's no caffeine there."

Sebuah percakapan yang sangat biasa. Hampir setiap pagi, temanku ini membawa sebuah gelas besar berisi kopi. Kopi pahit berwarna hitam pekat. Kopi yang menjadi sarapan wajibnya. Kopi yang kadang dibelinya dari sebuah warung kopi yang logonya sangat khas. Kopi yang menjadi bagian dari hidupnya. Kopi yang setia menemaninya di pagi hari yang dingin. Kopi yang banyak memberinya energi di saat ia berkarya. Kopi yang seolah menjadi daya hidupnya.

Segelas kopi, baginya adalah sebuah kebutuhan. Segelas kopi, yang dia tahu mengandung cafein yang sebenarnya tidak menyehatkan tubuhnya, tetap akan terus menjadi bagian hidupnya. Aku gak heran ketika dia mengatakan "I need more coffee" pagi itu, karena dia memang memerlukannya ...    

Ya ... Baginya segelas kopi adalah daya hidup yang akan menjadi sumber energinya dalam menjalani karyanya hari ini ...

WHY DOESN'T HE RETIRE?

Pertanyaan ini muncul saat aku dan temanku sedang mencatat tumpukan paket yang datang. Jam menunjuk angka 12.20. Lunch time, begitu biasanya kami menyebut. Tetapi siang ini aku sengaja mengambil jam makan siang lebih telat 1 jam dari biasanya.

"Why doesn't he retire?" tanya staf ekpedisi.
"Why would he?" jawab temanku sambil asyik mencatat.
Temanku melanjutkan "How would he earn $ 47.000 a year if he stops working?"
Si staf ekspedisi menjawab "But he needs to enjoy his life."
Tanya temanku "What would he do?"
Jawab si staf "He could go fishing, visiting family or even having lunch here everyday. Come on, he needs to retire ..."
Temanku hanya tersenyum saja ...

Sebuah percakapan singkat tentang pensiun. Ya ... Pensiun di sini memang gak sama dengan apa yang selama ini kuketahui. Pensiun di sini gak dibatasi umur. Selama seseorang masih mau bekerja dan dianggap mampu bekerja sesuai standard (oleh pemberi kerja tentunya), yang bersangkutan bisa terus bekerja. Sebaliknya, sesesorang juga bisa berhenti bekerja sewaktu-waktu, seandainya mereka menginginkan.

Lalu, apa yang menjadi penyebab seseorang tidak mau pensiun dini disini? Alasan paling utama adalah asuransi kesehatan. Selagi masih bekerja, asuransi kesehatan seseorang biasanya ditanggung pemberi kerja. Ini berlaku untuk kelompok pekerja yang disebut 'staff.' Untuk kelompok pekerja hourly, asuransi kesehatan diupayakan yang bersangkutan. Karena premi asuransi ini besar dan benefitnya lumayan, kebanyakan mereka yang sudah cukup umur (selagi merasa mampu) memilih terus bekerja.

Namun, aku merasa asuransi kesehatan bukanlah alasan utama seseorang memutuskan terus berkarya. Ada alasan lain yang mendasari seseorang untuk terus bekerja. Alasan apa itu? Alasan ingin memberikan manfaat untuk orang lain. Apa maksudnya? Yang bersangkutan tetap ingin berkarya agar bisa memberikan kontribusinya bagi siapa pun yang memerlukannya. Kenapa begitu? Karena "perasaan ingin berguna bagi orang lain" merupakan daya hidup/spirit yang melekat pada setiap insan.

Benar dan tidaknya, berpulang kepada pribadi masing-masing ... Selagi masih bisa bermanfaat untuk kebaikan orang lain, tidak ada salahnya kita terus berkarya, sekalipun usia sudah tidak muda lagi ...

Rabu, 09 November 2011

SHE'S ALWAYS POSITIVE ...

Kata "she" pada kalimat ini merujuk padaku. Kalimat ini muncul saat temanku berbicara mengenai suasana hatinya dengan teman lain. Suasana hati atau mood seseorang memang naik turun. Gak selalu sama setiap harinya. Temanku menganggap dirinya memiliki mood yang berbeda-beda setiap harinya. Sebaliknya, ia menganggap aku selalu berada pada mood yang stabil alias sama terus. Makanya dia mengatakan "She is always positive."

Lalu, apa jawanku? Sudah pasti "Thanks." Jawaban standar untuk sebuah pujian yang dilontarkan. Ya ... Bagiku ini memang sebuah pujian. Tetapi, sudah pasti pujian seperti ini tidak akan membuatku besar kepala. Aku merasa biasa saja sebenarnya, tetapi temanku memandangku dari sisi lain. Aku dianggapnya memiliki sikap positif terus.

Suasana hati dan mood memang sangat personal. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Bukan hanya faktor internal (dari dalam) melainkan juga faktor eksternal (dari luar). Aku menyadari sepenuhnya hal ini. Justru karena aku menyadari mood ini bersifat personal, aku tidak banyak memberikan perhatian pada hal-hal sedetil ini dalam menjalani hari-hariku disini. Yang kuupayakan adalah olah rasa agar aku memiliki kepekaan terhadap apa yang kurasakan sendiri sebelum aku bisa berempati pada perasaan orang lain. Atau sebaliknya, berusaha memahami perasaan orang lain dan berusaha menerapkannya padaku. Umpamanya saja, kalau aku gak mau dibuat jengkel, ya jangan sampai aku membuat jengkel ... Simpel saja kan?

"She is always positive," sungguh sebuah ungkapan yang patut kupertanggungjawabkan kebenarannya ...

Selasa, 08 November 2011

HE PISSED ME OFF ...

"He pissed me off," demikian kudengar kalimat itu dari temanku.
"Why?" tanya lawan bicaranya.
"He made me and my helper did what he should do," katanya lagi.
Aku hanya bisa mengatakan "Probably he wanted us to learn something new ..."
Tetapi temanku tadi mengatakan "I don't think so ... You know that I always do his jobs .."
Aku dan teman bicara lain tadi hanya bisa diam.

Aku lalu berkata dalam hati, memang gak mudah menyesuaikan model pekerjaan antar staf di departemen tempat aku bergabung. Berdasar pengalaman, umumnya para staf bekerja berdasar job deskripsi mereka masing-masing. Job deskripsi ini sudah mereka ketahui sejak mereka menyetujui kontrak kerja dengan pemberi kerja. Berdasar job deskripsi itulah mereka melakukan semua aktifitas harian mereka.

Gak mengherankan, kalau kemudian mereka tidak dengan cepat dan mudah menyetujui adanya "tambahan ilmu" alias pekerjaan baru yang deskripsinya gak sedari awal mereka sepakati. Hal inilah yang kurasakan sedikit berbeda dengan apa yang selama ini kuketahui. Aku biasanya menganggap pekerjaan baru sebagai ilmu baru, sehingga aku jarang merasa gak hepi dengan permintaan mempelajari hal baru tersebut.

Namun, aku tetap mencoba memahami apa yang temanku sampaikan dan rasakan. Memang benar pekerjaan tambahan tidak seharusnya mendadak diberikan di tengah jalan. Memang benar juga, temanku gak wajib menerima permintaan mengerjakan sesuatu yang gak sesuai dengan job deskripsinya. Cara pandangnya terhadap pekerjaan atau tugas tambahan gak sepenuhnya keliru.

Akhirnya, aku hanya bisa menyimpulkan, cara pandang kita terhadap sesuatu ternyata memiliki pengaruh yang besar terhadap keputusan kita untuk mengapresiasi sesuatu. Bagiku, sesuatu yang baru seringkali berarti pengalaman atau ilmu baru. Bagi orang lain, sesuatu yang baru bisa saja memiliki makna sebagai beban.

Gak ada yang salah dan yang benar ... Karena semuanya berpulang pada cara pandang dan keputusan kita masing-masing ...

DON'T HAVE TOO MUCH FUN ...

Kalimat ini rutin kudengar darinya. Seorang part timer, yang sedang berharap menjadi full timer, yang sangat senang bercanda. Gak pagi, gak siang, gak sore sebelum pulang, kalimat ini selalu diucapkannya.

"Don't have to much fun, ladies ..." itu adalah ucapannya dalam  versi lain. Intinya sih sama saja.

Aku mengenalnya hampir setahun yang lalu. Pembawaannya yang ceria membuatku merasa cepat enjoy dengan lingkunganku yang baru. Selalu saja dia menyapa duluan dan mengajak aku dan temanku ngobrol.

Kalau sudah ngobrol dengan temanku, biasanya mereka akan saling bertanya tentang anak, tentang kendaraan, tentang menu makan malam dan tentang orangtua mereka dan aneka bahan ngobrol yang rasanya gak penting-penting amat. Tak jarang obrolan diakhiri dengan ungkapan saling ejek - tetapi sebatas canda saja.

"Do you need something? Do you need anything to drink?"

Kalimat ini juga dilontarkannya padaku dan temanku saat jam makan siang tiba. Kalau sedang gak sibuk, temanku biasanya nebeng kendaraan staf tadi untuk belanja makan siang. Kalau sibuk, temanku hanya nitip untuk dibelikan makan siang pada staf tadi. Mana yang paling memungkinkan, itulah yang mereka lakukan.

Untukku, aku selalu punya jawaban sama "I am fine", atau "No, thanks."

Aku melihat temanku dan staf ini berteman dengan sangat baik. Ketika ucapan apa pun dengan bebas bisa dilontarkan - tanpa tendensi untuk menyakiti atau pun tersakiti - aku tahu mereka bersikap begitu karena mereka merasa saling dekat dan memahami.

Ya ... Di ruang kerja ini - yang merupakan tempat untuk berinteraksi dengan staf dari departmen lain - aku bisa melihat sekat senioritas dan yunioritas, sekat gender, sekat latar belakang pendidikan dan sekat-sekat lainnya hampir gak pernah jadi masalah ... Semuanya mencair saat dialog dibangun ... Semua percakapan mengalir begitu saja ...

Hari-hariku menjadi semakin indah saja rasanya, saat aku pun terlibat dalam dialog sehari-hari mereka. Sebuah dialog yang mampu meretas semua sekat yang ada ...

Senin, 07 November 2011

ARE YOU GOING TO STUDY?

Pertanyaan ini kuterima saat aku bergabung pertama kali dengan kantor tempatku bekerja. Sebuah pertanyaan yang gak mudah kujawab. Pertanyaan yang datang dari seorang staf senior yang notabene adalah warga negara asli atau penduduk asli negara ini. Karena gak yakin dengan rencanaku ke depan, aku mengatakan,"I don't know yet."

Awalnya aku gak menyadari apa yang melatarbelakangi pertanyaan ini. Baru kemudian aku menyadari kenapa pertanyaan ini terlontar. Ya ... Lingkungan tempatku bekerja adalah salah satu universitas besar yang memiliki sekitar 40 ribu mahasiswa. Sekitar 10 ribu diantaranya adalah mahasiswa internasional. Staf yang mengajukan pertanyaan tadi adalah warga asli sini. Dia gak berkesempatan mencicipi dunia perguruan tinggi setamat dari SMA. Ijazah yang dimilikinya membawanya bekerja di kampus di bagian cleaning. Karenanya, aku bisa membayangkan perasaannya. Dia warga negara asli sini yang gak berkesempatan mengenyam pendidikan di universitas tempatnya berkarya sampai hari ini. Dia banyak melihat warga luar negera ini yang justru bisa sekolah dan bahkan bekerja di posisi yang lebih baik darinya. Dia hanya bisa menjadi penonton.

Aku gak menyalahkannya ketika dia memiliki sikap kurang bersahabat dengan siapa pun itu utamanya dengan mereka yang berasal dari luar negaranya. Justru darinya aku belajar banyak tentang berbagai hal yang selama ini hanya kubaca atau kudengar.  

Aku hanya berharap, seiring dengan berjalannya waktu, apa yang staf tadi lihat dan alami akan memberikannya banyak pemahaman bahwa dia gak perlu takut dan cemas dengan manusia lain yang bukan berasal dari tempat yang sama dengannya. Penting untuk dimengerti bahwa sekolah yang dimaksud bukanlah sekedar tempat untuk mencari gelar atau sekedar tempat bersosialisasi kelompok masyarakat kelas atas/tertentu atau bahkan sekedar sebagai tangga yang harus dilalui sebelum memulai karir untuk menghasilkan banyak uang.

Sekolah adalah tempat untuk melatih dan mengolah kepekaan dan rasio agar siapa pun yang berjuang di dalamnya terlahir menjadi manusia baru yang lebih berbudaya dan toleran ...

SPECIAL GUEST ..

Aku hanya menerima message bahwa kamar di lantai 6 tersebut akan dipakai hari ini. Sebelumnya, kamar ini hanya diperuntukkan bagi resident atau guest yang berada dalam kondisi emergency alias tidak mendapat tempat menginap dimanapun dan biasanya masa tinggal di emergency room ini kurang dari 3 hari. Namun, message yang kuterima hari ini agak lain.

"The resident is moved from X-dorm and she will stay in the 6th floor for two weeks." Beberapa hari sebelumnya, aku hanya tahu bahwa kamar ini akan dipakai seorang guest yang akan tinggal selama 2 malam. Tapi hari ini reservasi untuk guest tersebut dibatalkan dan diganti dengan reservasi untuk guest spesial ini.

Tanpa kutanyakan pada seniorku, segera aku tahu jawabannya. Guest yang pindah dari dorm rupanya mengidap penyakit paru-paru yang perlu penanganan cermat. Karena penyakitnya tersebut, guest dipindah dan dikarantina ke lantai 6 gedung ini. Menurut email yang kuterima, guest ini adalah seorang student dan semester ini ybs terpaksa tidak bisa melanjutkan ikut kelas karena harus berobat. Student ini pun kemungkinan besar akan melanjutkan kuliah secara online, demi menjaga situasi kondusif perkuliahan. Aturannya memang jelas dan tegas: siapa pun yang mengidap penyakit tersebut harus menyembuhkan dulu penyakitnya dan tidak diperkenankan ikut kelas (untuk mencegah penularan). 

Dalam email yang kubaca berikutnya, aku tahu bahwa guest ini tinggal bersama ibu dan neneknya. Mereka akan mengupayakan pengobatan lanjutan ke salah satu rumah sakit di Indianapolis dan mereka akan meninggalkan gedung ini segera. Sebenarnya pengelola gedung sudah mempersiapkan ruang lain untuknya selama resident ini berobat. Namun, mereka memutuskan meninggalkan gedung ini dan tinggal bersama salah satu family di Indianapolis demi kesembuhan si resident.  

Semoga saja keputusan untuk memindahkan si sakit dari emergency room ke environment lain membawa kesembuhan baginya ...

Kamis, 03 November 2011

IT IS IMPOSSIBLE ...

Pagi itu kudengar percakapaan dua orang staf kantor. Usia mereka hampir sama. Topik yang mereka perbincangkan adalah mencari pasangan yang cocok dengan mereka. Keduanya memang sudah berpisah dari pasangan mereka masing-masing. Keduanya menghabiskan hari-hari mereka dengan bekerja.
"I am not giving up on that," kata salah satu staff.
"No. You will meet a good guy one day," jawab staff yang lain.
"Sure ... But I won't find them in a bar," jawab si staff yang kemudian tertawa mendengar kata-katanya sendiri. Aku tersenyum dalam hati saat mendengar kalimatnya yang terakhir.

Mereka melanjutkan pembicaraan "It is impossible to find a good guy in a bar. It is not such a good place for it," kata staff yang menertawakan ucapannya sendiri.
"You know what," kata staff satunya,"It is not only for women who feel hard to find a good man. It is a hard for man too, sometimes, to find a good woman."
Staff yang tadi tertawa hanya bisa mengangguk.
Sebuah perspektif yang berbeda namun obyektif. Jangan hanya memandang dari satu sisi, pandanglah dari sisi lain agar seimbang - kira-kira itulah pesan yang kutangkap.

Dan ... memang benar kata-kata itu ... Gak mudah untuk menemukan soulmate atau belahan jiwa yang sesuai dengan yang diinginkan ...