Kamis, 15 September 2011

I HATE HER ...

Bukan sekali ini saja dia datang kesini. Di saat jam kerja masih berlangsung pula. Seperti biasa, segera kucarikan staf yang dicarinya. Ayahnya. Seperti biasa juga, mereka kemudian berbicara di luar ruangan. Sesudahnya, staf yang dicari masuk ruangan. Seperti biasa (juga) dia akan berkata "I hate her ...."

Pada awalnya aku gak terlalu memahami apa dan siapa yang dimaksud. Baru kemudian aku tahu duduk perkaranya. Rupanya, anaknyalah yang selalu datang mencarinya. Urusan pribadi yang membawanya ke sini. Bagi staf tadi, urusan pribadi tersebut tidak membuatnya gembira. Bahkan, urusan pribadi ini cenderung membuatnya jengkel.

Tetapi apa yang kulihat? Sekalipun dia mengatakan 'I hate her ...', dia selalu menemui anaknya yang datang mencarinya. Nampaknya, dia juga selalu membantu menyelesaikan urusan anaknya. Aku jadi ragu, apa makna kalimat 'I hate her' yang selalu dikatakannya?

Jangan-jangan, kata-kata ini bermakna 'I love her' karena dia merasa anaknya gak pernah pergi ke tempat lain di saat ada masalah. Anaknya selalu datang kepadanya dengan masalah yang barangkali sama dari waktu ke waktu. Dia tahu, anaknya memerlukannya ...

Beda antara "I hate her" dan "I love her" pun menjadi tiada ...

Rabu, 14 September 2011

AM I JEALOUS?

"You are jealous," begitu kata John ...
Temanku mengatakan,"No, I am not ..."
"Yes, you are ... You are jealous," kata John lagi.
Temanku terdiam sesaat. "I just remember when he was with me. I worked very hard at that time. We raised the kids together, but then he left me ... I wish he knew that I worked hard at that time. I wish he knew that I did it for him."

Kata-kata temanku ini memang menyedihkan. Di saat dia merasa sudah berkorban banyak untuk pasangannya, ternyata pernikahan mereka kandas di tengah jalan. Aku gak tahu pasti sebenarnya, apakah mereka berpisah baik-baik atau dia ditinggal pergi. Yang kudengar, mereka masih berkomunikasi sejauh membahas berbagai urusan yang berhubungan dengan anak-anak mereka.

Lama sesudahnya gak ada lagi percakapan.
Sampai akhirnya temanku berkata,"Probably because he has a girl friend."
Kalimat itu diucapkannya dengan lirih. Aku menangkap ada kepedihan disitu. Nampaknya temanku merasa belum rela mantan pasangannya memiliki kehidupan baru yang (menurut kacamata temanku) membahagian. 

Kembali temanku mengingat masa lalu saat masih bersama pasangannya dan menanggung susah bersama. Mereka berdua bekerja keras untuk mencukupkan segala kebutuhan dan menunda banyak keinginan pribadi demi kebutuhan lain yang lebih penting. Semua upaya nampaknya tidak membuahkan hasil, sehingga akhirnya mereka berpisah. Setelah mereka berpisah, ayah anak-anak ini menanjak karirnya. Dia memiliki penghasilan yang sangat layak dan hidup dengan berkecukupan. Bahkan dia mulai menjajagi sebuah hubungan baru. Kabar inilah yang membuat temanku tidak terlalu happy. Sekalipun anak-anak temanku masih menjadi tanggungan ayahnya, hal ini tidak membuat bebannya berkurang. Bukan beban finansial melainkan beban psikologis.

Tampaknya temanku merasa pengorbanannya tidak dihargai ....

AFTER 30 YEARS ...

"Really?" Kudengar percakapan itu dari meja sebelah. Percakapan antara temanku dan seorang staf dari departmen lain. Percakapan yang nampaknya semakin intens. 
"She asked me to divorce her after 30 years," jawab si staf.
Temanku melanjutkan pertanyaan, "But how? Is there something happen?"
Jawab si staf "No ... There is nothing. Everything is just fine ..." 
Percakapan terhenti sebentar. Lalu si staf mengatakan, "It just happened on that day. She suddenly asked for a divorce. And then I say, if that is what you want, that's fine ..."

Ya ... Setelah 30 tahun menikah, pada suatu pagi, si staf tiba-tiba mendengar permintaan cerai dari istrinya. Kata si staf, gak ada hal yang mengganggu dalam perjalanan pernikahan keduanya. Staf ini mengatakan, mereka memiliki sepasang buah hati dan kehidupan pernikahan mereka berjalan normal. Tidak ada sesuatu yang terlalu mengganggu.

Dalam percakapan berikutnya, aku menangkap nada getir dalam kata-katanya. Dia sebenarnya tidak menginginkan hal itu terjadi. Baginya, 30 tahun bukan waktu yang pendek untuk mengenal satu sama lain. Tetapi, saat istrinya mengajukan permintaan itu, dia tidak sanggup menolaknya. Dia teringat, saat mereka memutuskan menikah, mereka memutuskan itu secara bersama-sama. Kini, saat sang istri tidak lagi menginginkan kebersamaan itu, dia hanya bisa mengabulkan permintaan istrinya. Dia tidak mau memaksa istrinya untuk bersamanya. Dia tidak mau istrinya tidak merasa berbahagia apabila mereka memaksakan untuk terus bersama.

Saat dia mengatakan "I feel empty. But this is it," aku tahu ... dia masih berusaha menata hatinya sampai hari ini ....     

Selasa, 13 September 2011

FROM MPRI'S GUEST APT

Mereka datang dari Chicago. Tujuan awal mereka hanyalah menengok fasilitas apa saja yang akan mereka peroleh selama mereka tinggal di apartemen ini. Ketika mereka kemudian memutuskan untuk menyewa salah satu ruangan, segera saja proses check in dilakukan. Mereka mengatakan "We come from Chicago. Our son will have cancer treatment at local hospital. That's why we are here. He will be here soon." 

Setelah semua paper work diisi dan pembayaran beres, kunci segera diserahkan. Bapak dan ibu yang sudah berumur ini nampak sangat rukun. Nampak betapa mereka mengupayakan yang terbaik yang mereka mampu. Mereka bahu membahu semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik bagi buah hati mereka. Sesaat sebelum mereka meninggalkan ruangan, mereka bertanya kepadaku dari mana aku berasal. Saat kusebutkan asalku, mereka mengatakan, "We know that country. That's not too far from our origin." Sesudahnya, mereka menuju ruangan yang mereka sewa.

Keesokan harinya baru kulihat anak yang dimaksud. Seorang anak laki-laki berbadan kurus dan sopan datang ke kantor. Dia menanyakan, "How can I access the internet?" Temanku memberikan penjelasan padanya dan dia nampak mengerti. Dia pun meninggalkan ruangan tanpa banyak berbicara.

Hari-hari sesudahnya hanya bapak dan ibu ini yang sering kulihat. Mereka nampaknya memilih mendampingi putra mereka di saat sulit seperti ini. Sebenarnya, putra mereka sudah berusia cukup. Gak harus rasanya mereka terus menerus mendampingi putra mereka, mengingat jadwal terapinya tidak setiap hari. Tetapi nyatanya mereka memilih tetap berada di sini bersama putranya.

Kubayangkan, gak mudah tentunya bagi mereka mendapati kenyataan bahwa putranya memiliki penyakit seberat ini. Namun, siapa tahu mukjizat akan terjadi karena mereka berdua mengupayakan yang terbaik?

Kiranya, harapan, doa dan kasih orangtua akan menjadikan mukjizat itu nyata ...     

"BE GOOD"

"I was here today. Be good. Love - Dad". Begitu bunyi catatan yang ditinggalkan di sebuah tas hitam untuk salah satu resident. Ketika aku bertanya apakah aku perlu menghubungi resident yang dimaksud, tamu itu mengatakan "I already contacted him. Probably he is sleeping right now. Or maybe he already left for the class." Aku kemudian menerima tas dan pesan itu dan menyimpannya di rak di bagian dalam kantor. Kemudian kukirim e-mail kepada resident dengan alamat itu, agar dia mengambil paket yang dititipkan di kantor.

Sore hari resident itu datang. Dia berkata "I got email said that there is a package for me." Kutanya beberapa informasi darinya termasuk identitasnya, lalu kucocokkan namanya dengan yang tertera di paket itu. Aku pun mengangsurkan paket itu kepadanya dan dia mengatakan "Thanks."

Kuamati wajah resident ini saat membaca catatan pendek untuknya. Tak tampak ekspresi yang lain. Biasa saja. Lalu dia keluar ruangan sambil membawa bungkusan itu.

Aku bertanya dalam hati, tahu gak ya anak ini kalo ayahnya sungguh mengasihinya? Dibawakannya keperluan anaknya dan diberinya catatan agar anaknya "be good". Tak lupa ditambahkan kata "Love" di catatan itu. Barangkali kata Love di akhir catatan ini muncul secara refleks, tetapi tidakkah ini menandakan kasih sayang orangtua yang juga refleks muncul saat ketemu buah hatinya?

Semoga saja anak ini mengetahui betapa besar cinta orangtuanya ....