Senin, 03 September 2012

ARE YOU MAKING MORE MONEY?

"Are you making more money?" tanya salah satu staf ekspedidi itu kepadaku.
Pertanyaan ini tidak langsung kujawab. Justru temanku seruanganku yang menjawab "Sure."
Bagiku pertanyaan ini gak umum ditanyakan, mengigat pertanyaan seperti ini sifatnya sangat personal. Bagaimana bisa seseorang terang-terangan bertanya perihal gaji tanpa tedeng aling-aling?
Sungguh sebuah pertanyaan yang mengagetkan bagiku. Tapi kemudian aku sadar bahwa pertanyaan ini sangat umum ditanyakan di sini. Pun sangat umum mengetahui siapa saja yang pindah posisi atau pindah pekerjaan umumnya karena alasan gaji naik.
Urusan karir adalah urusan pribadi, tidak perlu ditutup-tutupi kalau kita memang akan pindah dari departemen A atau bahkan pindah kantor. Kenapa begitu? Karena disini memang begitu tradisinya. Yang jelas, kita wajib memberitahu kepada kolega atau supervisor apabila kita akan pindah, utamanya 2 minggu sebelumnya (2 weeks notice).
Karena itu, aku jadi terbiasa mendengar kata-kata "pindah bagian" atau "pindah kantor" sejak aku bergabung di kantor ini. Siapa pun yang akan menaikkan taraf hidupnya tidak akan dihalang-halangi. Malahan mereka didorong dan diberi selamat. Loyalitas kepada perusahaan memang penting, tetapi bukan yang pertama dan terutama nampaknya... 
Perusahaan nampaknya sangat memahami bahwa loyalitas memang penting. Tetapi, perusahaan juga akan sangat paham apabila ada karyawan yang pindah atau keluar dengan alasan meningkatkan karir. Perusahaan tidak merasa ditinggalkan, melainkan perusahaan  ikut mendukung siapa saja yang akan maju ...

Selasa, 06 Desember 2011

THIS IS MY LAST DAY ...

"This will be my last day" kata petugas pos yang biasa ke kantor.
"Are you planning to have vacation?" aku bertanya sambil mencatat beberapa paket yang ada di atas meja.
"No" jawabnya.
"I will start working at management" lanjutnya.
"Congratulation ..." kataku.
"Does it mean you got a promotion?" tanyaku lebih lanjut.
"Kind of" jawabnya.
"I will get 2 dollars more per hour" katanya lagi.
"They give me 2 weeks to see. If I don't like it, I can always get back my old position" lanjutnya.

Ya ... Hari itu aku tahu pak pos ini mengakhiri hari-harinya sebagai mail man. Selama kurang lebih 18 tahun dia selalu berada di kendaraan, membawa surat dan paket, mengantarkannya ke berbagai mail box baik di perumahan, perkantoran, sekolahan, rumah sakit dan berbagai tempat lainnya. Mulai minggu depan, mail man ini akan berada di dalam kantor, mensupervisi beberapa anak buah dan membuat laporan rutin untuk atasannya.

Tampak olehku dua pekerjaan yang berbeda yang akan dijalani oleh orang yang sama. Satu pekerjaan berupa pekerjaan lapangan, dimana pak pos ini bisa melihat banyak pemandangan di luar kantor. Pekerjaan lainnya adalah pekerjaan di dalam kantor, dimana selama 8 jam sehari dia akan banyak berhadapan dengan pemandangan yang sama yaitu pemandangan dalam ruang.

Sudah bisa ditebak, pasti akan ada penyesuaian yang dibutuhkan bapak ini. Bisa jadi, penyesuaian ini tidak perlu waktu lama. Sebaliknya, bapak ini bisa saja memerlukan waktu yang cukup untuk menyesuaiakan diri dengan pekerjaan yang baru.

Saat aku mengatakan "Don't come back ..."
Pak pos ini menjawab "Who knows?"

Semoga saja pak pos ini berbahagia di kantornya yang baru ...

I JUST DON'T DO IT ...

Percakapan tentang ketidakpuasan terhadap atasan ini terjadi diantara dua staf.
"What happened?" tanya salah satu staf.
"I just don't do it. I don't say yes, I don't say no" jawab staf lainnya.
"Why should I do something that I don't like to to?" lanjut si staf yang ditanya.

Percakapan ini agak aneh menurutku. Bagaimana mungkin seorang anak buah yang memiliki bos baru bisa bersikap seperti itu. Namun kemudian aku tahu bahwa apa yang terjadi di sini tidak terlalu berbeda dengan apa yang terjadi di tempat lain.

Saat terjadi rotasi dan mutasi, beberapa staf memiliki sikap resisten terhadap perubahan. Apalagi jika mereka sudah merasa berada dalam zona nyaman. Para staf ini merasa tidak perlu melakukan sesuatu yang berbeda dari apa yang rutin mereka kerjakan. Karenanya, ada diantara mereka yang tidak secara langsung menolak melakukan sesuatu atau pun mengiyakannya. Mereka memilih tidak melakukannya.

Percakapan ini memang belum usai. Kedua staf masih berargumen mengenai perlu tidaknya mereka melakukan job desk yang baru ...

Selasa, 29 November 2011

IS IT ABOUT THE TIME?

Jarum jam hampir mendekati angka 4. Temanku nampak sudah siap berdiri di depan komputer penghitung waktu. Saatnya hampir tiba. Jam 3.57 pm temanku akan menggesekkan kartu pegawainya dan memilih menu "clock out" untuk mengakhiri jam kerjanya hari ini.

"Is it about the time?" aku bertanya padanya.
"2 minutes left" jawabnya.
"It's not bad" jawabku.
"Yeah" jawabnya.

Percakapan ini seringkali kami lakukan. Utamanya di hari Senin sampai Kamis, karena dia tidak bekerja di hari Jum'at. Percakapan yang sebenarnya sama dan terkesan sebagai basa-basi. Namun aku tidak menganggapnya demikian. Kenapa begitu? Karena dari percakapan yang nyaris sama di setiap sorenya, aku merasa lama-lama kami bisa berbagi banyak cerita. 

Cerita yang barangkali juga gak penting-penting amat, seperti apa rencana sepulang kantor, siapa yang memasak makan malam, kapan jadwal pertandingan football berikutnya, bagaimana kabar orangtua, bagaimana ramalan cuaca malam ini dan aneka topik obrolan ringan. Ya ... Selama 2 atau 3 menit sebelum temanku pulang, kami bisa mengobrolkan apa saja.

Kalimat "Is it about the time?" pun menjadi bagian dari cerita dan pengalamanku sehari-hari. Sambil menunggu temanku presensi sebelum pulang, kami gunakan waktu yang ada untuk ngobrol. Dari sini, aku banyak belajar hal baru. Ya ... Hanya dengan memanfaatkan waktu kurang dari 5 menit, aku memperoleh tambahan pengetahuan ....

HOW MUCH DO YOU LOVE ME?

"Tell me, how much do you love me?" tanya temanku pada ibunya lewat telpon.
Nampaknya ibunya memberikan jawaban yang menyenangkan hati temanku. Kulihat temanku tersenyum.
"Then, can you drive her home?" lanjut temanku pada ibunya.
Sesudahnya percakapan via telpon itu selesai.

Hampir setiap hari temanku menelpon ibunya. Bisa tiga sampai empat kali sehari. Kata temanku, selain untuk memastikan ibunya baik-baik saja, kadang-kadang temanku memerlukan pertolongan ibunya untuk mengantar jemput anaknya sekolah. Maklum, temanku musti berangkat pagi-pagi dari rumah dan sampai di rumah kembali selepas jam 5 sore. Otomatis, kegiatan antar jemput anaknya pun diserahkan pada ibunya.

Ibu temanku berusia 70-an tahun. Ini kudengar dari ceritanya saja. Secara pribadi aku belum pernah bertemu beliau, hanya pernah melihatnya melalui foto keluarga yang dibawa temanku ke kantor. Aku tahu temanku ini sangat memerlukan ibunya, terlebih di saat dirinya sibuk bekerja seperti saat ini. Dia pernah bilang, tanpa pertolongan ibunya, dia yakin akan sangat repot, sulit dan mahal baginya untuk mencarikan siapa yang bisa mengantar jemput anaknya. Karenya, kehadiran ibunya sangatlah berarti baginya.

Kalimat "How much do you love me?" yang kemudian diikuti permintaan untuk melakukan sesuatu (demi membuktikan besarnya cinta) rasanya agak janggal di telingaku. Ya ... Baru kali ini aku mendengar pertanyaan yang diikuti permintaan seperti ini. Barangkali hal ini merupakan sesuatu yang wajar diucapkan oleh masyarakat asli sini. Namun, menjadi sesuatu yang menarik bagiku saat aku mendengarnya langsung hari ini.

Pandangan mengenai cinta yang perlu dibuktikan memang bukan sesuatu yang mudah untuk dibenarkan atau disalahkan. Semua memiliki argumen masing-masing terhadap cara pandang yang seperti ini. Diskusi mengenai hal ini pun barangkali akan menarik, karena setiap alasan yang dikemukakan bisa jadi ada benarnya dan logis.

Yang paling penting bagiku, cinta tidak untuk dimanipulasi. Atau juga, cinta tidak bisa dipaksa untuk diwujudkan. Kenapa? Entahlah ... Jawabannya berpulang pada diri kita masing-masing ...

Kamis, 24 November 2011

DON'T GIVE HER CASH ...

"Did you do the (DNA) test?" tanya temanku pada salah satu staf cleaning.
"I did. I am waiting for the result this Friday" jawab si staf.
"Does you meet him regularly?" tanyaku pada si staf.
"No ... His mom doesn't allow me to see him" jawab si staf lagi.

Pembicaraan siang ini adalah mengenai anak laki-laki staf cleaning yang tinggal bersama ibunya. Kata staf cleaning tadi, pada suatu hari, ibu anak ini datang padanya dan mengatakan bahwa dia ayah biologis si anak. Saat mendengar kalimat ini, staf cleaning percaya begitu saja. Sekalipun staf cleaning dan ibu anak tadi tidak tinggal bersama, si staf cleaning berusaha memenuhi kebutuhan anak tersebut.

Sampai pada suatu saat, staf cleaning ini merasa ada sesuatu yang disembunyikan ibu anak ini. Dia merasa ragu apakah anak tersebut benar anaknya. Maka, staf cleaning tadi kemudian meminta si anak diteskan DNA-nya untuk dicocokkan dengan hasil tes DNA si staf.

Kata si staf " His mom called me several times asking for money and his need."
Lanjutnya "I gave her cash and also brought some stuffs for the kid."
Kata temanku "Don't you think about not giving her cash? You can give her a check."
Kata si staf "I didn't think about it before. Once I gave her 100 box and I gave her some more other times."
Kata temanku "Didn't you think about keeping the evidence? At least you have something to keep as evidence if you give her a check other than money. You can show her your responsibility when she needs it sometime in the future."
Si staf menjawab "Yeah ... That would be a good idea."

Saran temanku pada si staf cleaning untuk menunjukkan tanggung jawab secara financial pada ibu anak itu memang masuk akal. Setidaknya, akan ada bukti yang bisa ditunjukkan pada ibu anak itu saat diperlukan. 

Kupandang wajah si staf dari tempat dudukku. Nampak si staf sedikit murung. Aku pun ikut prihatin mendengar kisahnya. Sebuah kisah hidup yang tidak terlalu menyenangkan untuk diceritakan. Sebuah kisah hidup yang tidak seorangpun menginginkannya. 

Saat kudengar staf cleaning itu mengatakan "I'd be very depressed if the result (of the DNA test) shows he is not my son," aku tidak tahu apa lagi yang musti kukatakan. Jum'at minggu ini, hidupnya mungkin akan berubah setelah hasil tes keluar. Mungkin dia akan tetap bertanggungjwab untuk memenuhi kebutuhan anak itu, mungkin juga tidak. Kalau dia harus terus bertanggungjwab, mungkin dia akan melaksanakan apa yang dikatakan temanku "Don't give her cash" agar ada bukti yang bisa ditunjukkannnya saat diperlukan suatu hari nanti ...  

Sebuah pelajaran yang barangkali tidak lazim terjadi di tempat dimana aku dibesarkan ... Ketika orang tua tidak tinggal bersama anak, bentuk tanggung jawab keuangan mungkin tidak  sebaiknya dibeikan dalam bentuk tunai, melainkan berupa cek atau bukti transfer agar ketika diperlukan bukti tanggung jawab, ada sesuatu yang bisa ditunjukkan ...

I AM HAPPY I MADE A MISTAKE ...

Kalimat ini kudengar dari temanku saat kami sedang asyik menata berkas. Ketika itu suasana lumayan sepi, sehingga kami tidak perlu terlalu terburu-buru dalam menyelesaikan penataan berkas ini. 

"I am happy I made a mistake" kata temanku saat dia keliru mengambil berkas dan aku mengkoreksinya.
"Yeah ... You learn from your mistake. I promise you won't make the same mistake in the future" begitu jawabku.

Kalimat "I am happy I made a mistake" sungguh gak biasa kudengar. Baru kali ini aku mendengar seseorang mengungkapkan hal ini. Kalimat ini rupanya merupakan salah satu kalimat yang umum diucapkan untuk pemula yang sedang mempelajari sesuatu yang baru.

Selama ini, banyak yang menganggap melakukan suatu kekeliruan bukanlah sebagai sesuatu yang menyenangkan hati. Umumnya saat kita melakukan kekeliruan, kita akan merasa kurang nyaman. Namun hari ini perspektifku tentang melakukan suatu kekeliruan berubah. Saat aku mendengar kalimat ini, aku tahu melakukan sebuah kekeliruan tidak selalu memiliki makna tidak menyenangkan. Justru, melakukan kesalahan merupakan sebuah pengalaman yang menggembirakan. Kenapa begitu? Karena dengan melakukan kekeliruan, kita kemudian akan belajar sesuatu yang baru dan benar. 

Bagiku, kalimat ini kemudian terasa sebagai kalimat yang menguatkan hati seseorang untuk tidak perlu takut ketika melakukan kekeliruan. Ketika kita melakukan kekeliruan dan merasa tidak nyaman, kita perlu ingat kalimat "I am happy I made a mistake" ini. Kalimat ini akan memberikan energi bagi kita untuk memahami bahwa kekeliruan bisa jadi merupakan bagian dari sebuah proses pembelajaran.


Rasanya memang kontradiktif saat kita mendengar kalimat ini. Tetapi, kalau kita rasakan makna yang terkandung dalam kalimat ini terasa seperti energi positif. Dengan mendengar atau mengucapkan kalimat ini, mereka yang sedang memulai proses belajarnya tidak perlu takut saat melakukan kekeliruan. Pandanglah kekeliruan sebagai salah satu bagian dari proses pembelajaran ....